Rabu, 18 Juli 2012

Sarjana dan Intelektualitas


Sarjana dan Intelektualitas

Pendidikan merupakan sebuah proses penting dalam kehidupan manusia, karena melalui proses ini manusia dibentuk dan dilahirkan sebagai seorang manusia yang utuh dan sebenarnya.

Pendidikan semestinya bertanggungjawab terhadap proses pencerdasan bangsa dan berimplikasi kuat pada proses empowerment (pemberdayaan). Hal ini perlu ditegaskan kembali, karena tingkat mendidikan yang meningkat ternyata tidak selalu inheren dengan tingkat pemberdayaan, dan karenanya tidak inheren pula dengan tingkat kemandirian. Sebaliknya, kadang-kadang meningginya tingkat pendidikan malah berimplikasi pada makin meningkatnya ketergantungan kepada pihak-pihak lain.

Mencerdaskan kehidupan bangsa sebenarnya sudah menjadi tujuan utama bangsa kita yang termaktub dalam pembukaan UUD 45. Upaya ini ditempuh melalui pendidikan nasional.

Dalam upaya mencerdaskan bangsa pendidikan seharusnya dipandang sebagai alat perjuangan pencerahan manusia. Sebagai alat perjuangan pencerahan manusia maka minimal ada tiga aspek yang harus ada dalam sebuah proses pendidikan. Pertama, Aspek iman, yang berorientasi pada proses pembentukan keyakinan manusia akan penciptanya (spiritualitas). Kedua, Aspek kognisi, yang berorientasi pada perubahan pola pikir (intelektualitas). Ketiga, Aspek affeksi, yang berorientasi pada perubahan sikap mental dan perilaku (mentalitas).

Dengan dimilikinya minimal tiga aspek dalam wacana pendidikan kita, maka seseorang yang berpendidikan dipandang sebagai seorang yang telah mengalami peningkatan iman, ilmu dan mental. Proses ilmu adalah garis vertikal yang mengarah ke atas, proses moral adalah garis akar ke dalam jiwa, sementara proses mental adalah garis horisontal. Semakin meninggi ilmu akan semakin mendalam garis moral, serta semakin melebar garis mental. Inilah yang disebut dialektika antara ilmu, mental dan moral pada proses kepribadian seseorang.

Meningkatnya ilmu pengetahuan semestinya akan membuat yang bersangkutan semakin lapang jiwanya, semakin luas bathinnya dan semakin arif kepribadiannya. Namun ternyata tidak selalu demikian. Seseorang yang lebih tinggi kapasitas pengetahuannya belum tentu lebih bijak dan arif perilakunya. Pada kenyataannya sering kita temui seorang yang lebih tinggi kedudukannya yang notabene lebih mapan kapasitas intelektualnya, lebih tinggi strata keilmuannya menjadi lebih picik pikirannya, tidak lebih arif kebijaksanaannya dan menjadi otoriter kekuasaannya. Kita selayaknya gelisah, untuk apa kita himpun informasi dan ilmu sebanyak ini kalau ia malah meningkatkan akses kita ke kemungkinan dosa, karena yang kita ketahui itu -karena sesuatu dan lain hal- tidak bisa atau terpaksa tidak kita kerjakan.

Minimal ada dua permasalahan mendasar pendidikan kita, yaitu Pendidikan Spiritual dan Pengangguran Terdidik. Pendidikan spiritual permasalahannya adalah tidak seimbangnya antara porsi pendidikan spiritual dengan pendidikan intelektual dan mental. Akibatnya bisa kita lihat dengan semakin mengakar mendaunnya budaya korupsi, manipulasi, monopoli, oligopoli, kolusi dan segala macam kejahatan birokrasi dinegeri ini. Jika dikorelasikan dengan tingkat pendidikannya, pelaku kejahatan tersebut bukanlah orang-orang yang bodoh. Dari kualitas kejahatannya tentu pelakunya bukan orang sembarangan, pastilah orang-orang pintar, pandai dan minimal pernah mengenyam persekolahan modern.

Kenakalan remaja dan kenakalan orang tua yang semakin menjadi-jadi serta kejahatan fisik maupun moral bahkan gabungan keduanya semakin merajalela, merupakan bukti lemahnya kekuatan spiritual yang dimiliki sebagian masyarakat kita. Lemahnya kekuatan spiritual ini menjadikan masyarakat kita mudah putus asa dan cenderung menghalalkan segala cara demi kepentingan materi sesaat. Mereka tidak berpandangan jauh ke depan, dimana masa depan bukan berarti hanya masa dewasa dan masa tua tetapi menyangkut pula masa kematian dan masa pasca kematian. Dan yang cukup memprihatinkan adalah pendidikan kita belum mampu merubah sikap perilaku anak didik sesuai dengan target pendidikan yaitu mempertinggi budi pekerti dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Pengganguran terdidik merupakan masalah berikutnya yang cukup serius. Pengangguran ibarat hantu yang sangat menakutkan bagi masyarakat kita. Tidak peduli bagi mereka yang tidak mengenyam pendidikan ataupun bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi. Masalah pengangguran selalu dikaitkan dengan masalah pendidikan. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin dewasa dan semakin mampu berfikir alternatif. Sehingga sangat menjadi sorotan dan ironis jika sang penganggur itu adalah sarjana (intelektual) dimana seharusnya ia sudah mampu berfikir alternatif. Pendidikan yang semula diharapkan mampu mengangkat status sosial tetapi malah menjadi beban dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan tak jarang para sarjana mengalami kegamangan dalam masyarakat.

Jika dicermati lebih lanjut jumlah pengangguran semakin tahun semakin meningkat, apalagi ditengah keterpurukan ekonomi seperti saat ini. Pola ini menjadi menarik untuk dikaji, karena sarjana yang seharusnya mampu berfikir alternatif untuk menjadikan dirinya mandiri ternyata tidak demikian adanya. Ini menunjukkan sistem pendidikan kita belum mampu menjadi rahim yang melahirkan lulusan berjiwa enterpreneurship. Akibatnya mereka cenderung untuk mengandalkan lowongan pekerjaan dibandingkan dengan menciptakan lapangan kerja. Dunia pendidikan kita terjebak pada kata “How to use”, sehingga melahirkan produk sarjana konsumtif tidak kreatif. Lembaga-lembaga pendidikan akhirnya berfungsi sebagai pabrik-pabrik penghasil tenaga kerja yang terampil dan terlatih. Kondisi ini diperparah lagi dengan penerjemahan tujuan pendidikan yang menyesatkan. Penerjemahan tujuan pendidikan secara tidak sadar selalu dibawa pada aspek / orientasi lapangan kerja, memperoleh kursi dimana, gajinya berapa, fasilitasnya apa, dan sebagainya. Dengan demikian ketika produk sarjana ini dihadapkan pada realita kesempatan kerja yang sempit mereka tidak mampu untuk berfikir alternatif memanfaatkan ilmu dan sumber daya yang ada menjadi sesuatu yang produktif.

Simpul dari tulisan ini bahwa memang tidak ada jaminan bahwa berkembangnya kepribadian seseorang menjadi sarjana akan paralel dengan perkembangan kepribadian dan tingkat moralnya. Tidak ada jaminan bahwa membengkaknya jumlah sarjana berarti semakin terawat dan eksis pula nilai kebenaran dalam kehidupan masyarakat. Jadi untuk apa melakukan pengembaraan intelektual dan pergulatan pemikiran menjadi sarjana jika membuat jarak semakin jauh dengan Al-Khalik, Sang Pencipta ?. Ironisme yang memprihatinkan.

Menjawab ironisme tersebut diperlukan langkah sistematik dan konsisten dengan melakukan reorientasi sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang akan dikembangkan harus mampu mewadahi tiga dimensi dasar kehidupan manusia, yaitu dimensi ruhiyah (moralitas/spiritualitas/agama), dimensi fikriyah (intelektualitas) dan dimensi mental untuk dapat dimanage secara proporsional dan seimbang. Semoga dimasa yang akan datang semakin banyak dihasilkan sarjana-sarjana multidimensional, yaitu sarjana dengan kapasitas mental, moral dan intelektual. W
 
Sumber : yugo susanto
Oleh : Ambarwatik

       

Mengajar dan Belajar Dengan Hati

Mengajar dan Belajar dengan Hati

Judul diatas mungkin bagi sebagian kalangan tampak berlebihan, atau mungkin juga dinilai sepele. Namun, paling tidak...lima kata itulah berhasil mengubah kehidupan keseharian saya sebagai dosen – yang semula merupakan hari-hari yang menegangkan, menjadi hari-hari yang menyenangkan sekaligus mengharukan. Mungkin catatan kecil ini dapat menjadi inspirasi bagi sebagian rekan yang mengalami hal serupa.

Pada saat-saat awal belajar menjadi pengajar, saya berusaha menerapkan prinsip-prinsip dan etika akademik yang pernah saya pelajari. Disiplin pribadi, ketepatan dan semangat dalam pengerjaan setiap tugas, berani menghadapi tantangan (seberat apapun), kesatria (tidak mundur sebelum perang ditempuh), jujur, terbuka terhadap kritik, dan sikap-sikap lain yang mendukung keberhasilan siswa dalam hidupnya.

Hingga sewindu pertama, strategi tersebut relatif masih ampuh; meskipun saya dinilai sebagai dosen yang galak. Siswa yang terlambat hadir atau terlambat mengumpulkan tugas, sudah pasti akan mendapatkan sanksi. Siswa yang ikut asistensi tanpa memperlihatkan kemajuan sesuai dengan yang diminta, tidak lepas dari teguran (tentu saja ditujukan untuk menyemangati yang bersangkutan). Paling tidak, hingga saat itu prinsip-prinsip tersebut menurut saya berhasil mendorong sebagian besar mahasiswa lulus dengan hasil yang baik (bahkan sangat baik). Tentu saja, sebagian besar mahasiswa baru menyadari mereka lulus.

Sejak sekitar tahun 2000an, saya merasakan perubahan karakter mahasiswa secara mendasar. Dalam rapat-rapat staf di prodi pun, muncul berbagai keluhan dari hampir seluruh dosen. Sebagian besar menggarisbawahi kondisi mahasiswa yang kurang disiplin, daya juang yang lemah, tidak tekun, tidak dapat mengelola diri dan waktu, serta sikap lain yang diperlukan bagi siswa yang mandiri.

Sebagian besar prinsip yang saya yakini sejak kecil dan telah diterapkan selama sekitar 10 tahun, mulai saat itu tampak tidak berlaku. Berbagai peristiwa datang silih berganti yang justru menjadi bumerang. Saya terlihat menjadi berlebihan, dinilai bersikap terlalu keras, cerewet, dan mencapaipuncaknya ketika saya merasa tidak match lagi dengan situasi ini. 4 (empat) kali saya berpikir untuk mengundurkan diri dari ITB...

Kegalauan hati selama lebih dari sewindu, pada suatu ketika berubah HANYA dengan mengubah sebuah premis


Semula saya selalu berpikir; mahasiswa SEHARUSNYA sudah memiliki sikap ini dan itu, saat ini saya melihat fakta APA ADANYA dan berusaha membawa mereka pada sikap-sikap yang tetap saya yakini sebagai sebuah sikap yang perlu ditanamkan (seperti telah dijelaskan dimuka). Saya menyadari, bahwa situasi global dunia yang sudah berubah, sangat berpengaruh terhadap alam bawah sadar mereka (juga kita). Dunia yang serba instan, serba cepat, serba di permukaan, serta virtual, dan bahkan mungkin suatu ketika akan melewati batas-batas ambangnya...

Saat itu, hati sya yang semula MEMPERTANYAKAN, baru sadar... dan berubah menjadi perasaan iba dengan situasi yang dialami mahasiswa saat ini. Situasi dan keseharian yang mereka jalani jauh lebih kompleks. Kehidupan keseharian yang mereka hadapi juga pasti sudah membuat mereka bingung jika tanpa bimbingan. Kita harus berempati terlebih dahulu terhadap kondisi mereka (yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya) dan berusaha menjadi pendengar yang baik sert memberikan ruang lebih banyak untuk kesabaran.

Pernahkah kita menduga, satu kritik pedas bisa membuat mahasiswa pindah prodi bahkan mengundurkan diri dari ITB? Pernahkah terbyangkan, perasaan stress karena ketika SMU selalu menjadi juara kelas dan setelah di ITB menjadi orang yang “biasa” - membuat seorang siswa menggunduli rambutnya? Yang lebih spektakuler adalah mahasiswa yang nekat hendak memotong nadinya karena tidak athu lagi untuk tujuan apa dia berada di dunia ini.

Namun sebaliknya, kita mungkin tidak juga menyangka bahwa suatu pertemuan singkat yang bermakna mampu membuat mahasiswa “lolos” dari jeratan putus sekolah. Kita bahkan mungkin tidak menyadari bahwa sebuah sapaan lembut membuat ketakutan mahasiswa lenyap saat sidang akhir yang menegangkan. Sebuah pujian bagi mahasiswa yang sedang berada di titik nadir, mungkin akan dikenang selama hidupnya. Sungguh indah dan betapa berartinya tindak tanduk dan ucapan..........sekecil apapun.

Setelah ini diterapkan, hari-hari yang semula menegangkan, kini menjadi jauh lebih dapat dinikmati. Saya justru banyak belajar dari mereka; bukan tentang substansi ilmu Arsitektur-nya, melainkan ilmu tentang kehidupan masa kini yang sudah jauh lebih kompleks...

Ketika pikiran dan hati kita MAU BERUBAH, informasi datang silih berganti; termasuk hadirnya pengetahuan-pengetahuan tentang LCE, brain-based-learning, juga film Laskar Pelangi yang menekankan pentingnya mengajar (dan belajar) dengan hati. Karena (mungkin) memang inilah jalan kita untuk berhikmat kepada semesta...


To Teach is To Hope
Mary Shaughnessy

To teach is to hope...
That one day a child will know
The meaning of confindence
And be able to touch other lives...

To teach is to pray...
That these newly brave souls will use their talents
To better the world,
instead of just themselves.

To teach is to feel...
That not all the hurts of those in our care
can be healed
But they can be soothed


by, Dhian D. (ITB lectures, awal februari 2010, tulisan ini mengingatkan diriku ketika menjadi seorang guru, bahwa mengajar dgn hati dan semata2 krn-Nya, subhanallah hasilnya begitu menakjubkan, trims buat ibu Dhian atas pencerahannya smg bermanfaat utk para pengajar)


Source : http://rustinah.multiply.com
Oleh : Ambarwatik

Antara Generalis, Spesialis dan Versatilis

Belajar Dari Jepang Membentuk Komunitas Terdidik

Opini kecil, yang saya tulis sewaktu masih tinggal di Jepang. Pernah dimuat di kolom Opini, Surat Kabar Republika, tanggal 15 Juli 2002.

Tiada hari terlewatkan tanpa membaca surat kabar Indonesia melalui Internet. Di sana-sini bermunculan berita mengenai rusaknya moral dan carut marutnya kepribadian masyarakat Indonesia, layaknya sebuah bangsa yang tidak terdidik. Dan kerusakan ini secara signifikan dan menyeluruh melanda berbagai golongan masyarakat Indonesia, dari pejabat atas, menengah sampai rendah, dari anggota DPR sampai menular ke masyarakat umum. Kemudian kalau kita menyimak berita-berita Internasional, sudah menjadi hal yang lazim, bahwa Indonesia selalu memenangi kontes-kontes internasional yang berhubungan dengan sifat buruk. Dari masalah besarnya jumlah korupsi, pelanggaran HAM, pembajakan software, sampai rendahnya masalah sumber daya manusia (SDM).

Pada tulisan ini, penulis mencoba menguraikan tentang bagaimana sebuah komunitas terdidik (knowledged community) dan beradab itu sebenarnya bisa terbentuk dari sesuatu hal yang sangat sederhana.

Dari mengamati perilaku kehidupan masyarakat Jepang, sebenarnya tergambar bagaimana sebuah komunitas terdidik terlahir dari suatu sifat dan sikap yang sederhana. Yang pertama mari kita lihat bagaimana orang Jepang mengedepankan rasa “malu”. Fenomena “malu” yang telah mendarah daging dalam sikap dan budaya masyarakat Jepang ternyata membawa implikasi yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan. Penulis cermati bahwa di Jepang sebenarnya banyak hal baik lain terbentuk dari sikap malu ini, termasuk didalamnya masalah penghormatan terhadap HAM, masalah law enforcement, masalah kebersihan moral aparat, dsb.

Bagaimana masyarakat Jepang bersikap terhadap peraturan lalu lintas adalah suatu contoh nyata. Orang Jepang lebih senang memilih memakai jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana taatnya mereka untuk menunggu lampu traffic light menjadi hijau, meskipun di jalan itu sudah tidak ada kendaraan yang lewat lagi. Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

Hal menarik berikutnya adalah bagaimana orang Jepang berprinsip sangat “ekonomis” dalam masalah perbelanjaan rumah tangga. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Sekitar 8 tahun yang lalu, masa awal-awal mulai kehidupan di Jepang, penulis sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar pukul 19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 10 atau 20 yen. Juga bagaimana orang Jepang lebih memilih naik densha (kereta listrik) swasta daripada densha milik negeri, karena untuk daerah Tokyo dan sekitarnya ternyata densha swasta lebih murah daripada milik negeri. Dan masih banyak lagi contoh yang sangat menakjubkan dan membuktikan bahwa orang Jepang itu sangat ekonomis.

Secara perekonomian mereka bukan bangsa yang miskin karena boleh dikata sekarang memiliki peringkat GDP yang sangat tinggi di dunia. Mereka juga bukan bangsa yang tidak sibuk atau lebih punya waktu berhidup ekonomis, karena mereka bekerja dengan sangat giat bahkan terkenal dengan bangsa yang gila kerja (workaholic). Tetapi hebatnya mereka tetap memegang prinsip hidup ekonomis. Ini sangat bertolak belakang dengan masyarakat negara-negara berkembang (baca: Indonesia) yang bersifat sangat konsumtif. Terus terang kita memang sangat malas untuk bersifat ekonomis. Baru dapat uang sedikit saja sudah siap-siap pergi ke singapore untuk shopping, atau beli telepon genggam baru.

imigrasi.jpgSifat berikutnya adalah masalah “sopan santun dan menghormati orang lain”. Masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya untuk mengatakan gomennasai (maaf) dalam setiap kondisi yang tidak mengenakkan orang lain. Kalau kita berjalan tergesa-gesa dan menabrak orang Jepang, sebelum kita sempat mengatakan maaf, orang Jepang dengan cepat akan mengatakan maaf kepada kita. Demikian juga apabila kita bertabrakan sepeda dengan mereka. Tidak peduli siapa yang sebenarnya pada pihak yang salah, mereka akan secara refleks mengucapkan gomennasai (maaf).

Kalau moral dan sifat-sifat sederhana dari orang Jepang, seperti malu, hidup ekonomis, menghormati orang lain sudah sangat jauh melebihi kita, ditambah dengan majunya perekonomian dan sistem kehidupan. Sekarang marilah kita bertanya kepada diri kita, hal baik apa yang kira-kira bisa kita banggakan sebagai bangsa Indonesia kepada mereka ?

Bangsa Indonesia bukan bangsa yang bodoh dan tidak mengerti moral. Kita bisa menyaksikan bahwa mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang belajar Jepang, Jerman, Amerika dan di negara -negara lain, banyak sekali yang berprestasi dan tidak kalah secara ilmu dan kepintaran. Demikian juga kalau kita bandingkan bagaimana para pengamat dan komentator Indonesia menguraiakan analisanya di televisi Indonesia. Selama hidup 8 tahun di Jepang penulis belum pernah menemukan analisa pengamat dan komentator di televisi Jepang yang lebih hebat analisanya daripada pengamat dan komentator Indonesia. Dan ini menyeluruh, dari masalah ekonomi, politik, sistem pemerintahan bahkan sampai masalah sepak bola.

Akan tetapi sangat disayangkan bahwa fakta menunjukkan, secara politik dan sistem pemerintahan kita tidak lebih stabil daripada Jepang, secara ekonomi kita jauh dibawah Jepang. Dalam masalah sepakbola juga dalam waktu singkat Jepang sudah berprestasi menembus 16 besar pada piala dunia tahun 2002 ini, sementara kita sendiri masih berputar-putar dengan permasalahan yang tidak mutu, dari masalah wasit, pemain sampai kisruhnya suporter.

Mengambil pelajaran dari kasus yang telah diuraikan penulis diatas. Ternyata kepintaran dan kepandaian otak kita adalah tidak cukup untuk membawa kita menuju suatu komunitas yang terdidik. Justru sikap dan prinsip hidup yang sebenarnya terlihat sederhana itulah akan secara silmultan membentuk suatu bangsa menjadi bangsa besar dan berperadaban.

“Knowledge is power, and character is more, but lucky is everything”

Sumber : Romi Satria Wahono
Oleh : Ambarwatik

Belajar Dari Jepang Membentuk Komunitas Terdidik

Belajar Dari Jepang Membentuk Komunitas Terdidik

Opini kecil, yang saya tulis sewaktu masih tinggal di Jepang. Pernah dimuat di kolom Opini, Surat Kabar Republika, tanggal 15 Juli 2002.

Tiada hari terlewatkan tanpa membaca surat kabar Indonesia melalui Internet. Di sana-sini bermunculan berita mengenai rusaknya moral dan carut marutnya kepribadian masyarakat Indonesia, layaknya sebuah bangsa yang tidak terdidik. Dan kerusakan ini secara signifikan dan menyeluruh melanda berbagai golongan masyarakat Indonesia, dari pejabat atas, menengah sampai rendah, dari anggota DPR sampai menular ke masyarakat umum. Kemudian kalau kita menyimak berita-berita Internasional, sudah menjadi hal yang lazim, bahwa Indonesia selalu memenangi kontes-kontes internasional yang berhubungan dengan sifat buruk. Dari masalah besarnya jumlah korupsi, pelanggaran HAM, pembajakan software, sampai rendahnya masalah sumber daya manusia (SDM).

Pada tulisan ini, penulis mencoba menguraikan tentang bagaimana sebuah komunitas terdidik (knowledged community) dan beradab itu sebenarnya bisa terbentuk dari sesuatu hal yang sangat sederhana.

Dari mengamati perilaku kehidupan masyarakat Jepang, sebenarnya tergambar bagaimana sebuah komunitas terdidik terlahir dari suatu sifat dan sikap yang sederhana. Yang pertama mari kita lihat bagaimana orang Jepang mengedepankan rasa “malu”. Fenomena “malu” yang telah mendarah daging dalam sikap dan budaya masyarakat Jepang ternyata membawa implikasi yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan. Penulis cermati bahwa di Jepang sebenarnya banyak hal baik lain terbentuk dari sikap malu ini, termasuk didalamnya masalah penghormatan terhadap HAM, masalah law enforcement, masalah kebersihan moral aparat, dsb.

Bagaimana masyarakat Jepang bersikap terhadap peraturan lalu lintas adalah suatu contoh nyata. Orang Jepang lebih senang memilih memakai jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana taatnya mereka untuk menunggu lampu traffic light menjadi hijau, meskipun di jalan itu sudah tidak ada kendaraan yang lewat lagi. Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

Hal menarik berikutnya adalah bagaimana orang Jepang berprinsip sangat “ekonomis” dalam masalah perbelanjaan rumah tangga. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Sekitar 8 tahun yang lalu, masa awal-awal mulai kehidupan di Jepang, penulis sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar pukul 19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 10 atau 20 yen. Juga bagaimana orang Jepang lebih memilih naik densha (kereta listrik) swasta daripada densha milik negeri, karena untuk daerah Tokyo dan sekitarnya ternyata densha swasta lebih murah daripada milik negeri. Dan masih banyak lagi contoh yang sangat menakjubkan dan membuktikan bahwa orang Jepang itu sangat ekonomis.

Secara perekonomian mereka bukan bangsa yang miskin karena boleh dikata sekarang memiliki peringkat GDP yang sangat tinggi di dunia. Mereka juga bukan bangsa yang tidak sibuk atau lebih punya waktu berhidup ekonomis, karena mereka bekerja dengan sangat giat bahkan terkenal dengan bangsa yang gila kerja (workaholic). Tetapi hebatnya mereka tetap memegang prinsip hidup ekonomis. Ini sangat bertolak belakang dengan masyarakat negara-negara berkembang (baca: Indonesia) yang bersifat sangat konsumtif. Terus terang kita memang sangat malas untuk bersifat ekonomis. Baru dapat uang sedikit saja sudah siap-siap pergi ke singapore untuk shopping, atau beli telepon genggam baru.

imigrasi.jpgSifat berikutnya adalah masalah “sopan santun dan menghormati orang lain”. Masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya untuk mengatakan gomennasai (maaf) dalam setiap kondisi yang tidak mengenakkan orang lain. Kalau kita berjalan tergesa-gesa dan menabrak orang Jepang, sebelum kita sempat mengatakan maaf, orang Jepang dengan cepat akan mengatakan maaf kepada kita. Demikian juga apabila kita bertabrakan sepeda dengan mereka. Tidak peduli siapa yang sebenarnya pada pihak yang salah, mereka akan secara refleks mengucapkan gomennasai (maaf).

Kalau moral dan sifat-sifat sederhana dari orang Jepang, seperti malu, hidup ekonomis, menghormati orang lain sudah sangat jauh melebihi kita, ditambah dengan majunya perekonomian dan sistem kehidupan. Sekarang marilah kita bertanya kepada diri kita, hal baik apa yang kira-kira bisa kita banggakan sebagai bangsa Indonesia kepada mereka ?

Bangsa Indonesia bukan bangsa yang bodoh dan tidak mengerti moral. Kita bisa menyaksikan bahwa mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang belajar Jepang, Jerman, Amerika dan di negara -negara lain, banyak sekali yang berprestasi dan tidak kalah secara ilmu dan kepintaran. Demikian juga kalau kita bandingkan bagaimana para pengamat dan komentator Indonesia menguraiakan analisanya di televisi Indonesia. Selama hidup 8 tahun di Jepang penulis belum pernah menemukan analisa pengamat dan komentator di televisi Jepang yang lebih hebat analisanya daripada pengamat dan komentator Indonesia. Dan ini menyeluruh, dari masalah ekonomi, politik, sistem pemerintahan bahkan sampai masalah sepak bola.

Akan tetapi sangat disayangkan bahwa fakta menunjukkan, secara politik dan sistem pemerintahan kita tidak lebih stabil daripada Jepang, secara ekonomi kita jauh dibawah Jepang. Dalam masalah sepakbola juga dalam waktu singkat Jepang sudah berprestasi menembus 16 besar pada piala dunia tahun 2002 ini, sementara kita sendiri masih berputar-putar dengan permasalahan yang tidak mutu, dari masalah wasit, pemain sampai kisruhnya suporter.

Mengambil pelajaran dari kasus yang telah diuraikan penulis diatas. Ternyata kepintaran dan kepandaian otak kita adalah tidak cukup untuk membawa kita menuju suatu komunitas yang terdidik. Justru sikap dan prinsip hidup yang sebenarnya terlihat sederhana itulah akan secara silmultan membentuk suatu bangsa menjadi bangsa besar dan berperadaban.

“Knowledge is power, and character is more, but lucky is everything”

Sumber : Romi Satria Wahono
Oleh : Ambarwatik

Kurangnya Pembinaan Terhadap Guru SMA

Kurangnya Pembinaan Terhadap Guru SMA

Berbagai media melansir dalam setiap kesempatan dan hasil penelitian serta hasil penilaian terhadap portoflio guru membuktikan bahwa pembinaan dan pengembangan kompetensi guru SMA Negeri belum berjalan dengan baik.

Pemberitaan dalam berbagai media masa dan gambaran dari hasll penelitian, yang didukung oleh hasil penilaian portofolio guru, menunjukkan bahwa program dan kegiatan pembinaan serta pengembangan kompetensi guru SMA khususnya, komponen kompetensi profesional baik di tingkat kota/kabupaten maupun secara nasional, masih sangat minim.

Media Indonesia, 1/10/2005 mencatat bahwa guru telah gagal memenuhi indikator pengembangan komponen pompetensi profesional sehingga terganjal kenaikan pangkatnya. Dari pelaksanaan penilaian portofolio guru tahun 2007, penulis sebagai salah seorang asesor wilayah Sumbar menemukan bukti yang mempriharinkan itu.

Dari 64 dokumen yang dinilai, ternyata, sebanyak 77,4% guru tidak memenuhi indikator sama sekali. Artinya, guru (i) jarang melakukan penelitian tindakan kelas (PTK),t(ii) jarang menulis karya tulis lmiah (KTI) hasil penelitian, KTI konseptual, KTI populer, dan KTI untuk seminar, (iii) jarang menulis buku dan modul/Diktat, (iv) jarang menyiapkan alat pembelajaran, (v) jarang menghasilkan teknologi tepat guna atau TTG/karya seni, dan (vi) jarang mengikuti pengembangan kurikulum. Harian Kompas, 10/10/2007 memberitakan bahwa, secara nasional, hanya sebanyak 8.000 guru yang lulus sertifikasi dari 17.000 dokumen yang dinilai tahun 2007, sedangkan kuota nasional adalah sebanyak 20.000 (3.000 dokumen didiskualifikasi).
Penelitian yang penulis lakukan tahun lalu yang dkenal, menurut Panduan Penelitian Dikti Edisi VII, sebagai penelitian Hibah Bersaing dengan biaya Proyek Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Dikti Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor 230/ SP2H/DP2M/III/2007, tgl. 29 Maret 2007, membuktikan hal yang senada.

Dengan memakai dasar kebijakan pemerintah tentang sertifikasi guru bahwa guru harus profesional, tujuan utama penelitian adalah (i) mengidentifikasi dan mengelompokkan guru SMA N Sumbar berdasarkan pemenuhan indikator komponen kompetensi profesional guru, (ii) mengidentifikasi kemungkinan faktor penyebab gagalnya pemenuhan indikator, dan (iii) menyusun dan merekomendasikan Model Diklat.

Sasaran penelitian adalah guru SMA N Sumbar yang tersebar pada 7 kota dan 12 kabupaten. Lamanya penelitian adalah 3 tahun mulai tahun 2007. Pada tahun pertama (2007), sasasaran penelitian yang disetujui adalah wakil 13 guru bidang studi di 16 SMA N Kota Padang. Total sampel penelitian secara acak bertujuan (purposive sampling) untuk tahun pertama adalah sebanyak 182 orang. Data dijaring, setelah mendapat izin dari Diknas Provinsi Sumbar dan Diknas Kota Padang, melalui kuesioner dan wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 114 (63%) kuesioner yang kembali, sebanyak 68.75% guru hanya mampu membuat alat pembelajaran, 17.36% yang dapat megikuti kegiatan pengembangan kurikulum, 3.47% saja yang membuat diktat, hanya 2.8% melakukan PTK, 1.4% menulis KTI berdasarkan laporan penelitian, KTI konseptual, KTI populer, karya seni, dan sisanya 0.69% guru yang mampu menulis KTI untuk seminar, menulis buku, dan menghasilkan TTG.

  Sumber  : Dr. H. Welya Roza, MPd. di http://www.bung-hatta.info
  Oleh : Ambarwatik

Cerdas Bagi Pendidikan Anak

Cerdas Bagi Pendidikan Anak

Masih ingat dengan novel yang berjudul Laskar Pelangi? novel best seller yang ditulis oleh Andrea Hirata. sebuah kisah novel yang cukup menarik perhatian kita saat ini... bukan hanya cerita, tetapi juga banyak pesan yang dibawa... Apalagi saat diangkat dalam layar lebar disutradarai oleh Riri Riza, dan mendapat perhatian cukup banyak dari kaum muda.

Salah satunya adalah pendidikan di Indonesia. Potret sebuah sekolah yang sederhana, jauh dari kemewahan dan Ukiran prestasi yang bergengsi, tapi pendidikan yang tercermin bukan hanya memberikan ilmu pengetahuan saja, melainkan sebuah perilaku dan etika, sehingga tumbuh sebuah kreatifitas yang bukan karena fasilitas.

Saat ini sebagian orang tua memimpikan investasi manusia pada pendidikan untuk masa depan anaknya. Biar jadi pengusaha, Dokter, atau semua yang secara sosial terpandang dan mempunyai harkat dan martabat secara financial.

Ada yang lebih mendasar di tawarkan dalam laskar pelangi ini, yaitu Budi pekerti.

Negara ini mungkin lupa, atau terpesona akan pendidikan metoda luar (barat), sehingga tidak diliriknya pendidikan yang telah di rintis pendahulu kita, Seperti Ki Hadjar Dewantara, Kyai Haji Ahmad Dahlan. Dalam karya mereka terbentuklah Taman Siswa, Muhammadiyah. Beliau-beliau ini telah mencoba merintis pendidikan yang mengajarkan akan budaya timur, sepert budi pekerti, etika, sopan santun pada anak bangsa negeri ini.

Saat ini tidak jarang kita temui siswa yang pandai, tetapi tidak punya tata krama dan etika, atau malah di tidak tahu sopan santun.

Meskipun hal ini bukan hanya tugas dari sekolah, untuk memberikan bekal bagi anak kita, tetapi juga peran keluarga diperlukan dalam hal ini. Waluapun saat ini jumlah keluarga yang menanamkan pendidikan Budi Pekerti sudah mulai "tidak sempat", sehingga melimpahkan semua ke sekolah. Sedangkan sekolah juga di tuntut tidak hanya mendidik dan mencerdaskan anak bangsa, tetapi juga untuk menjadikan sekolah sebagai sekolah favorit, yang diharapkan akan menunjang keberlangsungan dan kesejahteraan Sekolah.

Bila kita sedikit saja melirik pendidikan di Jepang, dimana pendidikan tidak hanya dapat menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi juga tetap di berikan pendidikan budi pekerti dan pengetahuan budaya mereka. Sehingga mereka tetap mencintai dan juga mengerti asal mereka dengan budaya nenek moyangnya.

Pendidikan tidak hanya mengedepankan kecerdasan Intelektual tetapi juga Kecerdasan Moral, Spiritual dan Emosional.

Terkadang kita ataupun orang tua beragapan kecerdasan yang maksud adalah kemampuan anak dalam berhitung, mengahafal, meniru, pandai dalam membuat analisa yang dibuktikan pada prestasi di sekolah. Meskipun pemahaman ini tidak salah, namun juga kurang lengkap. Cerdas yang dimaksud adalah kemampuan anak dalam mengorganisir dengan baik aspek Intelektual, Emosional, Moral dan Spiritual.

Kecerdasan Intelektual, merupakan kemampuan seseorang secara efektif untuk melakukan perhitungan matematis, menganalisa, mengingat, dan beragumen. Sehingga pada umumnya, sang anak akan berhasil menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan baik.

Kecerdasan Emosional, merupakan kemampuan seseorang untuk mengelola dan memanfaatkan perasaan dengan baik. Seperti memahami orang lain, kemandirian, kerjasama, menyesuaikan diri dan berpikir positif. Tentunya hal ini dipengaruhi juga oleh kepribadian yang sehat.

Kecerdasan Moral, merupakan kemampuan seseorang yang peka dan mampu menentukan baik dan buruk. Seperti kejujuran, kerelaan menolong, kesetiakawanan, kepedulianan, kesederhanaan dan adil.

Kecerdasan Spiritual, merupakan kemampuan seseorang untuk dapat mengembangkan nilai-nilai yang mulya, seperti: kasih, kebenaran, ketaquan, ketaatan, pelayanan, pengabdian dan pengorbanan. Jadi kecerdasan Spiritual bukan saja ketaatan dalam menjalankan hukum-hukum agama, tetapi juga nilai dan sikap hidup dalam agama yang tulus dan mulia.

Jadi pendidikan untuk anak bangsa ini, bukan hanya dikarenakan oleh Sekolah saja, tetapi peran orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara. Cerdas yang bagaimana yang akan kita bekali kepada generasi akan datang, akan juga menentukan nasib keluarga, dan juga negara.

Anak Anda bukanlah anak Anda, Mereka adalah anak-anak kehidupan yang merindukan diri sendiri. Meskipun mereka datang melalui Anda, dan meskipun mereka bersama anda, mereka bukan milik anda.

Anda mungkin memberikan cinta, namun tidak pikiran anda, karena mereka memiliki pikiran sendiri.

Tubuh mereka mungkin ada dirumah anda, namun tidak jiwa mereka, karena jiwa mereka tinggal dalam rumah masa depan, yang tidak dapat anda kunjungi, bahkan tidak dalam mimpi anda.

Anda boleh berusaha menjadi seperti mereka, namun jangan membuat mereka seperti anda.

Anda adalah busur dari anak-anak anda, ditembakkan sebagai anak panah yang hidup.

Relakan diri anda melengkung di tangan pemanah demi kegembiraan.

Kahlil Gibran, Sang Nabi


  Sumber : Wahyu C.P
  Oleh :Ambarwatik

Metode Pembelajaran Guided Note Taking

Pengertian metode pembelajaran Guided Note Taking
Metode pembelajaran guided note taking merupakan metode pembelajaran yang menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif (cooperative learning) .Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah segala bentuk pembelajaran yang memungkinkan siswa berperan secara aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri baik dalam bentuk interaksi antar siswa maupun siswa dengan guru dalam proses pembelajaran tersebut.
metode pembelajaran guided note taking
Suasana Belajar dengan Guided Note Taking
Metode pembelajaran Guided note taking atau catatan terbimbing adalah metode pembelajaran yang menggunakan suatu bagan, skema (handout) sebagai media yang dapat membantu siswa dalam membuat catatan ketika seorang guru sedang menyampaikan pelajaran dengan metode ceramah. Tujuan Metode pembelajaran guided note taking adalah agar metode ceramah yang dikembangkan oleh guru mendapat perhatian siswa, terutama pada kelas yang jumlah siswanya cukup banyak (Agus Suprijono, 2009: 105)
Adapun langkah – langkah pembelajaran dengan metode Guided Note Taking adalah sebagai berikut :
  1. Memberi bahan ajar misalnya berupa handout kepada siswa
  2. Materi ajar disampaikan dengan metode ceramah.
  3. Mengosongi sebagian poin-poin yang penting sehingga terdapat bagian-bagian yang kosong dalam handout tersebut, misalnya dengan mengosongkan istilah atau definisi atau bisa dengan cara menghilangkan beberapa kata kunci.
b. Keunggulan Metode Pembelajaran Guided Note Taking
  1. Metode pembelajaran ini cocok untuk kelas besar dan kecil.
  2. Metode pembelajaran ini dapat digunakan sebelum, selama berlangsung, atau sesuai kegiatan pembelajaran.
  3. Metode pembelajaran ini cukup berguna untuk materi pengantar.
  4. Metode pembelajaran ini sangat cocok untuk materi-materi yang mengandung fakta-fakta, sila-sila, rukun-rukun atau prinsip-prinsip dan definisi-definisi.
  5. Metode pembelajaran ini mudah digunakan ketika peserta didik harus mempelajari materi yang bersifat menguji pengetahuan kognitif.
  6. Metode pembelajaran ini cocok untuk memulai pembelajaran sehingga peserta didik akan terfokus perhatiannya pada istilah dan konsep yang akan dikembangkan dan yang berhubungan dengan mata pelajaran untuk kemudian dikembangkan menjadi konsep atau bagan pemikiran yang lebih ringkas.
  7. Metode pembelajaran ini dapat digunakan beberapa kali untuk merangkum bab-bab yang berbeda.
  8. Metode pembelajaran ini cocok untuk menggantikan ringkasan yang bersifat naratif atau tulisan naratif yang panjang.
  9. Metode pembelajaran ini dapat dimanfaatkan untuk menilai kecenderungan seseorang terhadap suatu informasi tertentu
  10. Metode pembelajaran ini memungkinkan siswa belajar lebih aktif, karena memberikan kesempatan mengembangkan diri, fokus pada handout dan materi ceramah serta diharapkan mampu memecahkan masalah sendiri dengan menemukan (discovery) dan bekerja sendiri.
c. Kelemahan Metode Pembelajaran Guided Note Taking
  1. Jika guided note taking digunakan sebagai metode pembelajaran pada setiap materi pelajaran, maka guru akan sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa.
  2. Kadang-kadang dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang sehingga guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang ditentukan.
  3. Kadang-kadang sulit dalam pelaksanaan karena guru harus mempersiapkan handout atau perencanaan terlebih dahulu, dengan memilah bagian atau materi mana yang harus dikosongkan dan pertimbangan kesesuaian materi dengan kesiapan siswa untuk belajar dengan metode pembelajaran tersebut.
  4. Guru-guru yang sudah terlanjur menggunakan metode pembelajaran lama sulit beradaptasi pada metode pembelajaran baru.
  5. Menuntut para guru untuk lebih menguasai materi lebih luas lagi dari standar yang telah ditetapkan.
  6. Biaya untuk penggandaan hand-out bagi sebagian guru masih dirasakan mahal dan kurang ekonomis.
Tertarik untuk mencoba metode pembelajaran guided note taking? Silakan berbagi pengalaman melalui kolom komentar :-)
Guided note taking on classroom
Suasana Kelas saat Penerapan Guided Note Taking
(Referensi: Zainal Mutaqien. 2009. Kelebihan  dan Kelemahan Guided Note Taking)

Sumber :  Fryta Dewi Oktiningrum S.Pd
Oleh : Ambarwatik

Masalah Pendidikan Butuh Solusi

Kita semua tentu tahu, bahwa Indonesia adalah negara yang dikenal sebagai negara yang kaya raya, namun sumber daya manusianya masih lemah dalam pendidikan. Hal ini diakui oleh banyak orang di dunia, bahkan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Boleh Dibilang, pendidikan di Indonesia adalah salah satu yang kurang maju dari semua negara di dunia.

Hal ini disebabkan karena banyaknya masalah pendidikan di Indonesia yang masih sangat sulit untuk diatasi. Adapaun beberapa masalah utama pendidikan di Indonesia adalah :

1. Mahalnya Biaya pendidikan
Inilah masalah utama pendidikan di Negeri ini, yaitu mahalnya biaya pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Hal inilah yang kemudian banyak memunculkan fenomena putus sekolah di kalangan anak-anak Indonesia. Jangankan untuk sekolah Swasta, Untuk sekolah negeri pun, biaya pendidikanya tetap tinggi. Opsi bantuan BOS yang diberikan oleh pemerintah pun masih belum bisa mengatasi masalah mahalnya biaya pendidikan ini.

2. Kurangnya Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Bagi sebagian orang, pendidikan adalah hal yang biasa, namun bagi banyak orang yang berada di wilayah terpencil, pendidikan adalah barang mewah dan sangat berharga. Kenapa? karena memang di negara yang menganut paham desentralisasi ioni, pendidikan lebih difokuskan di wilayah-wilayah pokok yang lebih potensial. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kurangnay pemerataan dan menjadikan kesenjangan dalam pendidikan.

3. Rendahnya Kualitas Sarana dan prasarana pendidikan
Kita tentu sudah banyak mendengar berita tentang sekolah roboh, atau sekolah rusak karena bangunanya yang sudah lapuk namun tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Inilah salah satu bukti betapa Rendahnya Kualitas Sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia.

4. Masih rendahnya kesejahteraan Guru
Salah satu acuan yang bisa diukur untuk menentukan Keberhasilan pendidikan adalah tingkat kesejahteraan para Guru. Namun apa bisa dikata, Di Indonesia masih banyak guru yang dibayar dengan upah yang kurang layak atau bahkan tidak layak. Walaupun banyak orang beranggapan bahwa guru itu adalah profesi yang mewah, namun tetap saja masih banyak guru yang belum bisa menerima hasil jerih payahnya secara adil.

5. Rendahnya Prestasi Siswa
Dari penelitian Balitbang, Daya tangkap materi siswa di Indonesia hanya sekitar 30% dari semua materi yang diajarkan. hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kurangnya kepedulian dalam dunia pendidikan dan juga masih kurangnya pengetahuan para siswa tentang arti sebuah pendidikan.

Masalah Pendidikan Yang Paling Utama di Indonesia

Kita semua tentu tahu, bahwa Indonesia adalah negara yang dikenal sebagai negara yang kaya raya, namun sumber daya manusianya masih lemah dalam pendidikan. Hal ini diakui oleh banyak orang di dunia, bahkan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Boleh Dibilang, pendidikan di Indonesia adalah salah satu yang kurang maju dari semua negara di dunia.

Hal ini disebabkan karena banyaknya masalah pendidikan di Indonesia yang masih sangat sulit untuk diatasi. Adapaun beberapa masalah utama pendidikan di Indonesia adalah :

1. Mahalnya Biaya pendidikan
Inilah masalah utama pendidikan di Negeri ini, yaitu mahalnya biaya pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Hal inilah yang kemudian banyak memunculkan fenomena putus sekolah di kalangan anak-anak Indonesia. Jangankan untuk sekolah Swasta, Untuk sekolah negeri pun, biaya pendidikanya tetap tinggi. Opsi bantuan BOS yang diberikan oleh pemerintah pun masih belum bisa mengatasi masalah mahalnya biaya pendidikan ini.

2. Kurangnya Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Bagi sebagian orang, pendidikan adalah hal yang biasa, namun bagi banyak orang yang berada di wilayah terpencil, pendidikan adalah barang mewah dan sangat berharga. Kenapa? karena memang di negara yang menganut paham desentralisasi ioni, pendidikan lebih difokuskan di wilayah-wilayah pokok yang lebih potensial. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kurangnay pemerataan dan menjadikan kesenjangan dalam pendidikan.

3. Rendahnya Kualitas Sarana dan prasarana pendidikan
Kita tentu sudah banyak mendengar berita tentang sekolah roboh, atau sekolah rusak karena bangunanya yang sudah lapuk namun tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Inilah salah satu bukti betapa Rendahnya Kualitas Sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia.

4. Masih rendahnya kesejahteraan Guru
Salah satu acuan yang bisa diukur untuk menentukan Keberhasilan pendidikan adalah tingkat kesejahteraan para Guru. Namun apa bisa dikata, Di Indonesia masih banyak guru yang dibayar dengan upah yang kurang layak atau bahkan tidak layak. Walaupun banyak orang beranggapan bahwa guru itu adalah profesi yang mewah, namun tetap saja masih banyak guru yang belum bisa menerima hasil jerih payahnya secara adil.

5. Rendahnya Prestasi Siswa
Dari penelitian Balitbang, Daya tangkap materi siswa di Indonesia hanya sekitar 30% dari semua materi yang diajarkan. hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kurangnya kepedulian dalam dunia pendidikan dan juga masih kurangnya pengetahuan para siswa tentang arti sebuah pendidikan.


Masalah Pendidikan di Indonesia

Peran Pendidikan Dalam Pembangunan


Pendidikan mempunyai tugas mengumpulkan sumber daya manusia untuk pembangunan.Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman yang ada.Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan yang baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.Bab ini akan mengaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembanganya danm cara-cara aktual beserta cara penanggulanganya.

Apa jadinya bila pembangunan di indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan dibidang pendidikan?
Walaupun pendidikan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bpila moral bangsa terpuruk.Jika hal tersebut terjadi,bidang ekonomi akan bermasalah,karena tiap orang akan korupsi.Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara kita akan hancur.oleh karena itu untuk pencegahanya.Oleh karena itu untuk pencegahanya,pendidikan harus dijadiakan salah satu prioritas di negeri ini.

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan


Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”

Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas


”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.

Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.

Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan


Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.

Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.


 Sumber : Muliani (Program Studi Biologi
                Fakultas Pertanian, Perikanan, dan Biologi
                Universitas Negeri Bangka Belitung)

Oleh : Ambarwatik